http://www.emailcashpro.com

Wednesday 1 December 2010

keistimewaan Jogjakarta

Pengukuhan status Keistimewaan Yogyakarta telah melewati sejarah panjang, yang dimulai dari perjanjian Gianti 1755 hingga UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.                                                                                  

Selain itu, dasar perumusan status tersebut pun merujuk pada beberapa sumber utama, yaitu Piagam Presiden Soekarno tertanggal 19 Agustus 1945, amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945, amanat 30 Oktober 1945 yang ditandatangani bersama-sama antara Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII, dan Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945. 

Namun, ketika saat ini status tersebut kembali diapungkan, perlu dilihat dahulu keberadaan Kasultanan Yogyakarta, apakah sebuah entitas pemerintahan atau entitas budaya? 

Jika  ditinjau dari sisi politik, Yogyakarta sebagai sebuah daerah istimewa sebenarnya merupakan sebuah "kontrak politik" dengan pemerintah RI. Melihat sejarahnya, DIY telah 2 kali menandatangani "kontrak" tersebut. 

Pertama, kontrak politik yang mengakui adanya Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat sebagai sebuah entitas pemerintahan. Kontrak politik kedua ditegaskan dengan Piagam Presiden Soekarno, amanat Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII,  serta amanat 30 Oktober 1945 yang ditandatangani bersama-sama antara Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII. 

Jika piagam dan kedua amanat tersebut dianggap sebagai sebuah kontrak politik, Yogyakarta hakikatnya merupakan sebuah entitas pemerintahan sebelum RI merdeka. Demi penegakan bangunan unitarisme, entitas pemerintahan di Yogyakarta tersebut menundukkan diri dalam ikatan Negara Kesatuan RI. 

Namun, eksistensi Kasultanan Yogyakarta sebagai entitas pemerintahan telah memudar. Hal ini dikarenakan politik perundang-undangan yang entah sengaja atau tidak mengarahkan secara perlahan-lahan Yogyakarta hanya merupakan entitas budaya. 

Untuk itu, RI dan Yogyakarta tampaknya perlu meneken "kontrak politik jilid III". Kontrak ini mengatur hak dan kewenangan masing-masing institusi dirumuskan secara bersama-sama. Jika disepakati, hak dan kewenangan ini akan mewarnai substansi UU Keistimewaan Yogyakarta, Hal ini cukup mengingatkan kita pada terbentuknya UU Pemerintahan Aceh setelah kesepakatan damai (MoU) Helsinski. 

"Kontrak politik" tersebut diharapkan bisa mengukuhkan legitimasi Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Sehingga tak perlu lagi muncul perdebatan yang semata-mata hanya mengungkit-ungkit persoalan hukum soal status semata, tanpa mempertimbangkan kenyataan dan politiko historis yang menyebabkan Yogyakarta menyandang status Daerah Istimewa.

sumber : media indonesia

0 comments:



  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP